Islam Dan Pentingnya Sebuah Persaudaraan
Demi
kebahagiaan si-sahabat, salah satu dari mereka yang memang tergolong
kolomerat, menawarkan separuh hartanya untuk diambil secara cuma-cuma.
Tidak hanya itu, yang cukup mencengangkan, dia juga siap ’menghadiahkan’
salah satu istrinya untuk dijadikan pasangan hidup, sekiranya
si-sahabat menghendaki. Bertepatan dia memang memiliki dua istri.
Dia berujar,
”Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan
Anshor. Ambillah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua
istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa
menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka nikahilah ia.”
Pernyataan
yang sangat luar biasa, yang tidak mungkin terucap, kecuali dari orang
yang memiliki kecintaan tinggi terhadap sahabatnya. Lalu, siapakah
gerangan dua sahabat yang saling mencintai satu sama lain itu?
Tidak lain
mereka adalah Sa’ad bin Arabi’ (dari Anshor) dan Abdurrahman bin ‘Auf
(dari Muhajirun), yang baru saja dipersaudarakan oleh Rosulullah
Sholallahu ’Alaihi Wasallama (SAW), tidak lama setelah kaum muslimin
Mekkah, menapakkan kaki di Madinah.
Memang,
setibanya di kota yang awalnya bernama Yatsrib tersebut, ada dua hal
yang sangat menumenal yang langsung dilakukan oleh Rosulullah. Yaitu;
membangun masjid (Nabawi), dan mempersaudarakan antara kaum muslimin,
dari kalangan Muhajirun (Mereka yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah),
dengan golongan Anshor (Kaum muslimin yang berdomisili di Madinah).
Tujuannya, agar kaum muslimin saling membantu antara satu sama lain. Dan
supaya kaum muslimin menyingkirkan belenggu jahiliyah dan fanatisme
kekabilahan, yang notabene lebih memilih mementingkan kepentingan
pribadi/kelompok, dari pada kemaslahatan ummat pada umumnya.
Hasilnya,
potret persaudaraan yang dijalin oleh Sa’ad bin Arabi’ dan Abdurrahman
bin ’Auf ini, adalah cerminan dari persaudaraan kaum Muslimin saat itu,
yang berjumlah ± sembilan puluh orang. Di kemudian hari, jalinan
persaudaraan yang kuat menghujam di sanubari ini pula lah, yang menjadi
cikal-bakal bangkitnya kaum muslimin hingga menguasai Jazirah Arab dan
sekitarnya.
Islam Dan Pentingnya Sebuah Persaudaraan
Dalam satu
riwayat, Rosulullah pernah meanalogikan kaum Muslim dengan kaum Muslimin
lainnya, bagai sebuah bangunan, yang mana antara satu komponen dengan
komponen yang lain saling menguatkan.
Sabda
beliau, ”Al-Mukminu lilmukminin kalbunyaan yasyuddu ba’duhum ba’dhan.”
(Mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya bagai satu bangunan yang
saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya).
Layaknya
satu bangunan, tidak akan pernah sempurna, bila saja antara material
yang ada; batu, bata, pasir, daun pintu, jendela, genteng, dll,
’berjalan’ sendiri-sendiri, dan tidak pernah ’ridho’ untuk menyatukan
diri, menempati posisinya masing-masing, guna menjadi sebuah bangunan
yang kuat, kokoh, elok, lagi memberikan kenyamanan bagi setiap orang
yang berteduh di dalamnya.
Beliau juga
mengibaratkan kaum muslimin dengan kaum muslimin lainnya bagai satu
badan. Tatkala ada salah satu unsur badan tersebut merasakan
ketidaknyamanan –misal- sakit perut, maka seluruh anggota tubuh, akan
ikut terkena getahnya. Demikianlah sejatinya, gambaran persaudaraan
antar kaum Muslimin.
Dalam kontek
membangun peradaban Islam, persaudaraan menempati posisi yang sangat
sentral dalam menyukseskan misi tersebut. Sepanjang sejarah, telah
terbentang catatan, betapa persaudaraan yang kokoh antara kaum muslimin,
telah menghasilkan kemenangan-kemenangan gemilang dalam pertempuran.
Begitu pula sebaliknya, kekalahan demi kekalahan acap kali hinggap di
pihak kaum muslimin, manakala tali persaudaraan antar mereka mengalami
’kelonggaran’. Dampaknya, mereka mudah dicerai-beraikan, diadudomba, dan
kemudian dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Kekalahan
kaum muslimin pra kepemimpinan Sholahuddin Al-Ayyubi, dan kemenangan
ketika kepemimpimnan berada di pundaknya, dalam perang Salib, adalah
satu bukti betapa persaudaraan dan perceraiberaian umat ini, telah
menjadi ’urat nadi’, yang menentukan kemenangan atau kekalahan kaum
muslimin dalam menghadapi bangsa-bangsa lain.
Bukan Nasab atau Materi
Yang perlu
dicamkan, bahwa pondasi yang mendasari persaudaraan kaum Muslimin, yang
mampu melahirkan energi yang maha dahsyat, yang menjadi penompang
tegaknya peradaban Islam, itu bukanlah nasab, harta, atau kekuasaan.
Persaudaraan
yang bahan ’material’ pondasinya terdiri dari tiga unsur ini, merupakan
pondasi yang sangat rapuh. Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh akan
hal itu. Saat ini, betapa sering kita dapatkan berita dari media massa,
karena harta, seorang anak tega menuntut orang tuanya di pengadilan.
Bahkan, kalau perlu menghabisi nyawa salah satu dari mereka, atau
keduanya sekaligus.
Karena
kepentingan kekuasaan, para politikus saling menjatuhkan. Padahal,
sebelumnya, mereka sangat akrab. Ini sebuah fakta yang tak terbantahkan,
betapa nasab, harta, dan kekuasaan bukanlah pondasi yang tepat dalam
membingkai persaudaraan hakiki itu. Kalau demikian, lalu apa?
Iman lah
jawabannya. Ketika iman benar-benar menjadi unsur penyatu, maka, tidak
ada satu pun yang mampu merobohkannya. Kenapa kaum Anshor, salah satunya
Sa’ad bin ’Arabi dengan sukarela menawari kaum muhajirin bantuan yang
begitu spektakuler, padahal mereka baru saja dipertemukan antar satu
sama lain? Kekuatan apakah yang mampu menggerakkan hati mereka untuk
melakukan demikian? Adakah unsur lain, selain iman?
Tentu tidak
ada. Iman lah yang telah memotivasi kaum muslimin untuk berani berkorban
dengan harta, bahkan jiwa mereka sendiri, demi kemuliaan saudaranya.
Dan sejatinya, pondasi macam inilah yang ditawarkan Allah bagi kaum
muslimin dalam membangun persaudaraan satu sama lain.
Allah
berfirman dalam al-Quran: “Dan Berpeganglah kamu semua kepada tali
(Agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu
karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara......” (Al-Imron: 103)
Membinasakan Persaudaraan
Untuk
menjaga tali persaudaraan, yang juga patut kita waspadai adalah penyakit
yang bisa merapuhkan tali persaudaraan kaum Muslimin itu sendiri.
Saban hari,
Rosulullah pernah menerangkan ke pada para sahabat, bahwa akan tiba
suatu masa, di mana keadaan kaum Muslimin bak buih di lautan. Mereka
mayoritas, tapi tidak memiliki otoritas. Jumlah mereka melimpah-ruah,
tapi tidak memiliki wibawah. Penyebabnya, karena kebanyakan dari mereka,
telah terjakit penyakit ’wahn’.
Ketika para
sahabat meminta penjelasan prihal penyakit tersebut, beliaupun
menjawab,”Hubbud Dunyaa Wa Karihatul Mauti.” (cinta dunia dan takut akan
mati).
Tatkala kaum
Muslimin, telah terjakit ’virus’ ini, maka yang timbul adalah karakter
individualis mereka. Tidak ada lagi yang namanya persaudaraan yang
murni. Semua syarat kepentingan, keuntungan diri sendiri, keluarga, atau
kelompok masing-masing.
Sebab itu,
jangan pernah alpa untuk senantiasa bermunajat kepada-Nya, agar kita
terhindar dari penyakit yang akan membinasakan keeksistensian kaum
muslimin ini. Dan berharap, semoga tali persaudaraan kaum muslimin –yang
saat ini bisa dikatakan cukup renggang- kembali erat lagi, diikat
dengan hablullah’ (tali –agama- Allah), bukan hablun yang lainnya,
sehingga kejayaan Islam, kembali bisa direngguh, sebagaimana dahulu
kala. Amin-amin, yaa rabbal ’aalamin.
sumber : indonesia fashion hijab
0 komentar:
Posting Komentar